“Apa kabarnya? Gimana sudah dapat kerjaan belum? Jangan lupa solat, kalau bisa tiap malam bangun tahajud. Sempetin juga baca Qur’annya meski cuma beberapa ayat”.
Begitulah kira-kira isi pesan dari Bapak sebelum akhirnya beliau (kembali) menelpon saya. Bukan sekali dua kali saya mendapatkan pesan seperti itu dari Bapak, namun sudah berkali-kali, tak terhitung banyaknya sejak saya wisuda sekitar 5 bulan lalu. Selain bertanya kabar, pertanyaan (wajib) selanjutnya adalah tentang kehidupan karir anaknya ini. Kalau sudah begitu, saya seringkali lebih banyak hanya meminta do’a restu dari beliau. Mohon di do’akan agar anak tertuanya ini segera mendapatkan pekerjaan yang terbaik. Ah…padahal tanpa diminta pun, kau selalu menyebut anakmu dalam setiap do’a-do’amu. Acap kali setiap mendengar suara Bapak diujung telepon, saya hanya bisa bergumam sedih dalam hati,
Maafkan anakmu ini Pak, belum bisa membahagiakanmu.
Maafkan anakmu ini Pak, karena seharusnya sekarang sudah bisa menggantikan posisimu menjadi tulang punggung keluarga.
Maafkan anakmu ini Pak, belum bisa menjadi anak yang berbakti.
Jangan tanya sama saya, sudah berapa banyak lamaran pekerjaan yang saya kirimkan. Apakah saya yang terlalu pilih-pilih pekerjaan? Ya…saya memang pilih-pilih pekerjaan, namun masih dalam batas wajar. Pantangan terbesar saya cuma ada dua saja kok. Pertama, saya nggak mau pekerjaan bidang sales/marketing karena saya ini nggak pandai jualan.