Saat masih jaman kuliah, saya sempat tergabung dalam lembaga pers mahasiswa. Sebut saja namanya Manunggal, karena memang itu namanya hehehe…Nah, saat-saat bersama Manunggal atau seringnya kita sebut “M”, menjadi salah satu saat paling berharga. Banyak warna yang tergores selama di M. Tak hanya canda tawa kebahagiaan semata, tangis dan pertengkaran juga pernah mewarnai.
Nah, kebetulan saat itu saya masuk di bagian redaksi, tepatnya menjadi reporter. Bagi awak redaksi, tekanan dan stres menghadapi deadline liputan sudah menjadi hal biasa, dan akan semakin bertambah ketika Redpel/Pimred sudah mulai ‘berkicau’. Kalau sudah begitu, nomor Manunggal seketika akan menjadi nomor ‘horor’. Jadi harap maklum saja kalau ada awak M yang susah dihubungi hehehe….
Jika diminta untuk bercerita pengalaman selama di M, tak akan cukup ditulis dalam selembar atau dua lembar kertas. Terlalu banyak kenangan. Tapi dari sekian banyak kenangan, ada satu pengalaman selama jadi awak redaksi yang saya pikir cukup berharga (setidaknya menurut saya) yang ingin saya bagikan.
Masih teringat, saat itu saya mendapat jatah liputan rubrik Wansus untuk Tabloid. Orang yang harus diwawancarai saat itu adalah Pak Tubagus, pemilik Rumah Seni Yaitu. Singkat cerita, saat untuk wawancara pun tiba. Setelah bertemu dan basa-basi sedikit, kami pun mulai wawancara. Namun ketika sedang mempersiapkan peralatan untuk merekam wawancara, tiba-tiba beliau melarang kami untuk merekamnya.
‘’Kalian kan wartawan (cetak), wartawan itu kan nulis jadinya ya ditulis,’’ katanya. ‘’Hah???,’’ teriak saya dalam hati.
Tentu saja saya terkejut, karena saat itu masih terbiasa menggunakan rekaman sebagai sumber utama. Akhirnya, mau tidak mau dengan sangat terpaksa saya pun mencatat hasil wawancara dan berharap tidak ada jawaban penting yang miss.
Nah, semenjak saat itu sampai sekarang, setiap kali liputan untuk wawancara, jawaban narasumber selalu saya tulis dan tak pernah menggunakan perekam. Saat-saat pertama, saya masih mencoba menulis semua jawaban dari narasumber dan tentunya catatanku juga ‘belepotan’. Namun seiring jam terbang yang bertambah akhirnya bisa juga memilih dan memilah mana jawaban yang perlu di catat dan mana yang tidak. Awalnya memang sulit, namun lama kelamaan saya pun terbiasa.
Hmm, mungkin ada yang berpikir, buat apa repot-repot mencatat kalau bisa direkam, lebih praktis. Yap, mungkin saat ini ada mengganggapnya sia-sia, namun ketika terjun kedunia wartawan yang sesungguhnya baru kita akan merasakan manfaatnya (dan lagi-lagi) setidaknya itu berlaku buat saya.
Selain itu yang tak kalah penting, sebelum wawancara carilah informasi tentang latar belakang narasumber maupun topik yang akan kita tanyakan. Hal itu akan membantu kita untuk mengembangkan pertanyaan. Wartawan ya menulis, bukan merekam (kecuali wartawan TV atau radio). Betul nggak? hehehe….Kalau menurut kalian bagaimana?
Saya hanyalah seorang ibu rumah tangga biasa. Istri seorang ilustrator sekaligus ibu dari 3 orang anak luar biasa. Penyuka kopi yang suka membaca, kulineran, dan jalan-jalan. Blog ini merupakan catatan saya tentang berbagai hal. Semoga bisa bermanfaat dan selamat membaca!
Satu pemikiran pada “Menulis Versus Merekam”