Bulan Ramadhan kali ini, saya punya kegiatan baru. Saya ikutan jadi relawan Rumah Zakat. Setiap sorenya Rumah Zakat punya program penyaluran buka bersama untuk anak yatim dan kaum dhuafa dengan tempat / lokasi yang berbeda setiap harinya. Nah, kebetulan hari Senin kemarin lokasi yang harus kami datangi adalah Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Jatibarang di Gunungpati.
Karena lokasi yang jauh, maka jadwal berkumpul yang biasanya jam 3 sore diajukan 30 menit awal. Tapi emang dasar Indonesia, karena yang dipakai jam karet maka jam 15.30 lebih kami baru berangkat. Saya berdua dengan teman saya menuju TPA menggunakan angkot yang kami sewa untuk membawa paket makanan. Sedangkan yang lain menggunakan motor.
Perjalanan menuju lokasi lumayan lama, sekitar satu jam. Untuk menghabiskan waktu, kami pun saling mengobrol dan bertukar dengan pak sopir angkot. Kami berdua yang baru pertama kali ini akan ke TPA sangat antusias. Kami sama-sama penasaran, ingin melihat seperti apa kehidupan warga di sana. Kalau kata teman saya yang sudah jauh-jauh hari merencanakan ikut penyaluran ke TPA, ia ingin belajar supaya bisa lebih bersyukur. Setelah memasuki wilayah Gunungpati dan melewati jalanan nggak terlalu bagus, akhirnya sampailah juga kami di lokasi TPA Jatibarang.
Mulai memasuki wilayah TPA, kami disambut oleh kehadiran sapi-sapi yang berkeliaran bebas. Awalnya hanya terlihat beberapa saja, namun semakin mendekati area TPA sapi-sapi tersebut semakin bertambah banyak. Yang lebih membuat kami syok adalah ketika kami melihat sapi-sapi yang jumlah puluhan bahkan ratusan tersebut berada di tengah tumpukan sampah TPA. Bukan sedang lewat atau sengaja berkumpul di TPA, tapi sapi-sapi tersebut memang sedang mencari makan di tengah tumpukan sampah. Kandang-kandangnya pun kami lihat berada di pinggiran TPA.
Kalau ada yang bertanya, jika sapi-sapi tersebut untuk dikonsumsi, maka bukankah sapi-sapi itu rentan penyakit karena mengkonsumsi makanana dari TPA yang banyak sumber penyakit? Saya juga awalnya berpikir demikian, dan menurut info ada yang bilang sapi-sapi tersebut sebelum dijual terlebih dahulu dikarantina selama sebulan dan diperiksa juga kesehatan mereka. Jadi, waspada saja buat yang mau beli sapi atau mengkonsumsi daging sapi yah!
Nah, sesampainya di TPA, kami ternyata sudah dinanti oleh koordinator warga. Dipandu oleh si bapak, kamu menuju lokasi tempat acara yang berada di pemukiman mereka. Kami pun masuk melewati pinggiran area TPA. Bau yang semakin menyengat hidung pun sangat terasa. Ternyata, lokasi pemukiman mereka masih lumayan jauh.
Selain itu, tentu saja yang membuat kami semakin “takjub” dengan pemandangan yang kami lihat. Membuat kami semakin bisa melihat dan membayangkan seberapa luas lokasi TPA tersebut. Tentunya juga semakin membuat kami bertanya-tanya, seperti apa kehidupan mereka. Tak berapa lama, kami terpaksa harus berhenti karena jalan yang akan kami lewati ada yang ambruk sehingga tidak bisa dilewati oleh mobil dan hanya bisa dilewati motor menggunakan jembatan darurat. Si bapak kemudian memanggil teman-temannya untuk membantu membawa paket makanan yang kami bawa menuju lokasi dengan motor.
Akhirnya sampai juga dipemukiman mereka. Alhamdulilah lokasinya tidak mepet dengan TPA sehingga hidung kami cukup aman dari incaran bau busuk sampah. Jika biasanya lokasi penyaluran yang lain berada di mushola, untuk kali ini kami menggunakan badan jalan sebagai tempat berkumpul. Jangankan bangunan mushola, rumah mereka terlihat sangat sederhana jika tidak dibilang ironis. Dan sepatutnya kita harus jauh merasa lebih bersyukur bisa memiliki tempat tinggal yang nyaman. Mungkin rumah kita bukan rumah yang besar atau mewah, tapi setidaknya nyaman dan sehat untuk kita tempati.
Seusai acara berlangsung, kami semua segera berpamitan dan bergegas pergi. Bukan karena tidak betah disitu (meskipun itu memang benar), tapi alasan utamanya karena tidak ada tempat untuk kami sholat dengan “cukup nyaman” dan tidak adanya penerangan karena tidak adanya listrik. Yap, tidak ada aliran listik ke pemukiman mereka. Jadi bisa dibayangkan kondisi tempat tinggal mereka ketika malam hari, gelap gulita meskipun mungkin mereka masih menggunakan lampu teplok/lilin sebagai sumber penerangan.
Dalam perjalanan pulang, saya cukup merenung. Betapa bersyukurnya saya dengan kehidupan saya sekarang.Meski hidup saya jauh dari sempurna, setidaknya saya masih memiliki tempat tinggal yang nyaman. Saya masih memiliki lingkungan yang sehat. Kenapa lingkungan? Asal tahu saja, dari informasi yang saya dapat, pendapatan mereka mungkin lebih banyak daripada pendapat kita perbulan loh.
Lalu kenapa mereka hidup disitu dan seperti itu? Karena disitu dan itulah mata pencaharian mereka. Uang pendapatan mereka kirimkan ke kampung halaman. Mungkin di kampung mereka memiliki rumah bagus atau bahkan mobil, namun mereka harus mendapatkannya dengan mengais dari sampah. Karena dari mengais sampah itulah mereka menghidupi keluarga mereka di kampung. TPA hanya menjadi tempat mereka mengais rezeki.
Oleh sebab itu, bersyukurlah jika kita memiliki lingkungan tempat tinggal dan tempat bekerja yang nyaman dan sehar. Meskipun pendapatan lebih banyak, mereka rentan terkena penyakit. Bisa dibayangkan jika mereka harus bejibaku dengan sampah yang menjadi sumber penyakit setiap harinya. Yah…memang terkadang untuk bersyukur kita harus memandang ke bawah dahulu. So, sudahkah kita bersyukur hari ini?
Saya hanyalah seorang ibu rumah tangga biasa. Istri seorang ilustrator sekaligus ibu dari 3 orang anak luar biasa. Penyuka kopi yang suka membaca, kulineran, dan jalan-jalan. Blog ini merupakan catatan saya tentang berbagai hal. Semoga bisa bermanfaat dan selamat membaca!
wah, luar biasa mba
kerennnn…
semoga tulisan ini menginspirasi yah
makasih mas…amiin… 🙂